Café

Jika Anda sedang berada dalam kafe, atau warung kopi, saat sedang atau bahkan tidak membaca tulisan ini, cobalah Anda perhatikan orang-orang di sekeliling Anda (kecuali memang Anda sedang sendirian – sejak dalam pikiran, maupun perbuatan): kenalkah Anda dengan mereka? Dan apakah kiranya yang sedang mereka bicarakan sebenarnya? Lebih banyak manakah pengunjungnya, anak muda atau orang tua?

Lalu kemudian, Apa fungsi sebuah kafe?

Pertanyaan ini mungkin mudah untuk dijawab, mungkin tidak. Tapi bila kita bertanya kepada Naguib Mahfouz, ia akan menjawab pertanyaan itu lewat karya sastra.

Ada beberapa karya yang ditulis Naguib Mahfouz berkaitan dengan kafe. Salah satunya ialah Karnak Café.

Cerita Karnak Café, dibuka oleh si tokoh Aku yang bertemu perempuan bernama Qurunfula: mantan penari perut legendaris yang memutuskan mundur dan mendirikan kafe karnak itu. Tokoh Aku sendiri sebenarnya tidak pernah berniat, apalagi memimpikan dirinya menjadi “penghuni tetap” kafe Karnak. Ia awalnya hanya berniat memperbaiki jam tangannya di jalan al-Mahdi namun secara tidak sengaja menemukan kafe karnak.

Di dalamnya, si Aku melihat: kafe itu seperti sebuah rumah. Para pengunjung, memang berada di tempat duduknya masing-masing sambil membicarakan hal yang tidak saling bersentuhan. Tapi, mengapa kafe ini selalu ramai setelah kunjungan (Aku) yang ke-beberapa kali? Dan, mengapa (-walau ini tidak terlalu mengherankan) hanya itu-itu saja pengunjungnya?

Memang, bisa jadi yang membuat kafe karnak selalu ramai ialah karena pemiliknya, Qurunfula. Ia yang memang cantik, bisa membuat siapa saja akan betah berlama-lama di kafe itu. Tapi bagaimana dengan sekelompok anak muda seperti Ismail al-Syekh dan Hilmi Hamada serta Zainab Diyab?

Kita diberitahu bahwa Hilmi Hamada memang dekat dengan Qurunfula. Tapi Hilmi ternyata diam-diam menyimpan protes terhadap situasi negaranya yang sedang berperang melawan Israel. Di kafe itu semua hal dibicarakan bersama teman-temannya. Di kemudian hari semua anak muda ini diculik dari tempat itu. Mungkin karena diskusi yang mereka jalankan, mungkin juga karena Hilmi Hamada yang berpikiran sosialis-komunis itu, kata Ismail al-Syekh, terlalu keras membela isi kepalanya di depan Khalid Safwan: lalu mati dibunuh setelah interogasi kedua.

Tapi dimana kita bisa menemukan anak muda dalam kafe-kafe yang membahas politik atau perang, bagi kita yang di Makassar ini, seperti dalam Kafe Karnak, setiap saat? Hampir mustahil. Kecuali dalam beberapa kegiatan seperti bazar, atau seminar terbatas yang diadakan oleh sebuah organisasi, atau bahkan lembaga-lembaga survei. Tema kegiatannya pun bisa, kata Saut Situmorang: panjang seperti Pancasila. Hasilnya bisa ditebak: lenyap entah kemana.

Kelompok yang paling diuntungkan sebenarnya ialah generasi tua dalam kafe karnak. Tak satupun dari mereka diculik oleh Khalid Safwan. Meskipun kita tidak pernah tahu siapa-siapa saja tokoh dari generasi tua di kafe itu selain tokoh aku; Qurunfula (pemilik kafe); Zainal Abidin dan Arif Sulaiman (pelayan); dan Jum’a (tukang bersih dan penyemir sepatu).

Para generasi tua ini hanya bisa bergosip tentang anak-anak muda yang tiba-tiba menghilang setiap dua-tiga minggu. Mereka hanya bisa menanti-nanti secara cemas kedatangan kembali anak-anak muda yang mereka rindukan. Bagaimana mungkin kafe tersebut akan tetap bertahan dan suasananya tidak membosankan, jika didalamnya para anak muda yang punya banyak cerita dan mimpi itu tidak ada yang berkumpul disitu?

Tapi jika generasi tua ini berkumpul, apa hal yang paling mungkin akan mereka bicarakan?

Dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas yang ditulis Andrea Hirata menarik untuk dilihat. Disitu, persoalan keseharian para anak muda pekerja sampai orang tua dibawa ke warung-warung kopi. Hanya diwakili dengan pesanan kopi sang pengunjung, kita sudah bisa tahu seberapa menderitanya orang ini (dalam kehidupan nyata, mungkin pelakunya ada diantara kita).

Sayangnya, warung kopi dalam karya Andrea Hirata bukanlah sebuah kafe dalam kepala Naguib Mahfouz.

Maka, kalau kita menengok karya Naguib Mahfouz lainnya seperti Kisah Seribu Satu Siang dan Malam, maka jawabannya ialah: sex, nasib dan kekayaan. Semua itu mereka bicarakan setiap malam. Para orangtua ini biasanya tidak mengenal setinggi apa (derajat) pekerjaan-mu: ia lebih menikmati jika semua orang bisa setiap malam duduk bersama, saling lempar cemooh dan, tentu saja bersenang-senang diikuti pamer kekayaan.

Kafe dalam karya tersebut oleh para tokohnya ditempati untuk melepas jenuh dari masalah-masalah yang ditemukan setiap saat (-setiap bab). Sultan Syahriar, yang memegang kekuasaan beserta sang Menteri Dadan dan Shabeeb Rama, sang Algojo, justru sibuk menguji iman warganya. Selain karena ingin mengetahui siapa saja masyarakat penganut Khawarij (sebuah kelompok yang terlarang dalam cerita ini), sang Sultan diam-diam, mencari tahu tingkat kepopulerannya.

Naguib Mahfouz mungkin ingin memberi peringatan kepada pembacanya bahwa ada hal-hal yang bisa kita kenali dan temukan di kafe selain berinternet ria.

Tapi ini juga mungkin benar: Karnak Café, yang dicetak awal 1970-an, adalah cerita dari tahun yang tak mengenal internet dan segenap hiburannya.

Tinggalkan komentar